Budaya Jember Budaya Pandhalungan


Setelah wafatnya Profesor Ayu Sutarto, kata Pendalungan kembali muncul di permukaan. Baik di media massa cetak maupun di media elektronik yang menyebar ke media sosial dengan cepat. Pendalungan yang kadang juga ditulis 'pandhalungan' bermakna asal periuk besar. Artinya wadah besar. Jember sebagai wadah besar untuk mewadahi kebudayan-kebudayaan yang sudah ada.

Apa saja budaya yang ada di Jember? Pada dasarnya kebudayaan Jember dipengaruhi dan dibentuk oleh tiga kebudayaan yang terlebih dulu lahir dan lama telah eksis dan berkembang, yaitu: Jawa, Madura, dan Osing.
Masyarakat berbudaya Jawa di Jember kebanyakan bertempat tinggal di daerah selatan dan barat Jember. Sementara masyarakat berbudaya Madura banyak bertempat tinggal di daerah timur dan utara Jember. Sementara itu, Osing menyebar merata, kebanyakan di sepanjang sungai Bedadung (salah satunya di desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji), dan sampai ke pesisir selatan Jember.

Menjadi menarik ketika Radar Jember menurunkan berita budaya yang menyebutkan bahwa masyarakat Jember masih kurang sreg jika disebut sebagai masyarakat pendalungan. Mengutip budayawan Supartu, orang seharusnya lebih dikuatkan lagi pemahaman dan kecintaan orang Jember terhadap kebudayaan Jember sebagai budaya pendalungan. Sebenarnya tidak sedikit sudah netizen Jember yang mengangkat keunikan Jember khususnya dari segi bahasa yang 'aneh-aneh' baik melalui blog maupun facebook dan media sosial lainnya. 

Salah satu orang yang sering memunculkan uniknya bahasa Jember adalah Fusliyanto, seorang netizen yang juga guru Bahasa Indonesia di SMAN 2 Jember ini sering menulis (nyetatus) dengan bahasa Jemberan. Antara lain mak taker, be...., dan cek gantengnya. Sebenarnya ini wujud diterimanya dan diakuinya pendalungan oleh orang Jember. Sekedar catatan, Fusliyato adalah orang Jember yang berasal dari Situbondo (budaya Madura), kuliah di Jember, beristri orang Banyuwangi dan akhirnya tinggal, berkeluarga, dan memiliki anak yang lahir dan besar di Jember. Dari satu contoh kecil ini saja, dapat diketahui betapa pendalungannya Jember.

Bentuk bahasa yang khas Jember yang lain adalah Esihkoh, kata ini untuk menunjukkan kekaguman. Dapat saling sulih atau searti dengan woww dalam bahasa yang lain. Adeklah adalah bentuk ungkapan yang bermakna habis dah. Bukan adek yang memiliki makna saudara yang lebih muda. Adeklah adalah kata bentukan yang dipengaruhi oleh bahasa Madura.

Baca Juga: Jember dan Bahasanya yang Khas

Bentuk kebudayaan pendalungan selain berupa bahasa juga tampak pada seni musik dan seni rupa (batik). Dalam seni musik, Jember mengklaim bahwa patrol adalah musik khas Jember. Ingat musik khas, bukan musik asli. Karena musik patrol juga dimainkan oleh masyarakat di kabupaten dan wilayah lain. Tetapi patrol, yang memanfaatkan kentongan sebagai alat musik utamanya, yang ada di Jember memiliki kekhasan tersendiri yaitu: alat musiknya ditambah dengan gamelan (jawa) dan lagu yang dinyanyikan adalah lagu Banyuwangian (mbayuwangen). Ini juga menunjukkan perpaduan tiga budaya pembentuk pendalungan Jember. Kentongan (Madura), gamelan (jawa), dan lagu banyuwangen (Osing). Jadi, musik patrol tidak bisa hanya disebut sebagai musik patrol semata, karena khas Jember, seharusnya disebut Patrol Jember, atau Patrol Pendalungan.

Dalam seni rupa juga tampak perpaduan tiga kebudayaan pembentuk pendalungan, khususnya pada motif batik di Jember. Batik Jember yang tumbuh dan berkembang (lebih tepatnya: ditumbuhkan dan dikembangkan) di Jember memiliki corak dari tiga kebudayaan yang berbeda. Dalam corak batik Jember ada tiga karakter yang sekaligus dituangkan yaitu: warna hitam dan merah yang dominan dan kuat, dipadu dengan bentuk lengkung, serta tak jarang juga berwarna-warni. Dominan merah dan hitam adalah ciri khas Madura, garis dan bentuk lengkung adalah corak batik dari daerah jawa, dan adanya motif yang warna-warni merupakan ciri khas Osing. Semuanya menyatu, dan disenangi oleh masyarakat Jember.
Selanjutnya tari Lahbako, sebagai hasil budaya yang dikembangkan dan diciptakan. Dalam sejarah, Lahbako tidak lahir dari masyarakat budaya pendalungan. Tetapi lahir dari keinginan 'politik' pemerintah yang ingin menunjukkan sesuatu yang 'khas' dari Jember dalam sebuah pertemuan antar-kepala daerah. Karena Jember tidak punya (belum punya lebih tepatnya) tarian yang khas Jember, maka sang kepala daerah meminta kepada koreografer di Yogyakarta untuk membuatkan tari khas Jember.

Karena yang khas dari Jember dan booming saat itu adalah tembakau, maka dipilihlah tema tembakau dalam tarian. Mulai tanam tembakau, nyujen (menusuk tembakau untuk digantung dan dikeringkan) hingga menyortir tembakau tergambarkan jelas dalam tari Lahbako. Tetapi karena sang koreografernya adalah orang Yogya yang kental dengan budaya jawa yang gemulai dan lemah lembut, pada awalnya tari Lahbako 'terlalu Jawa' untuk ukuran Jember. Maka, dalam perkembangannya, koreografi Lahbako di'revisi' oleh koreografer Jember yang memahami karakter Jember sebagai kabupaten pendalungan. Lahbako yang sekarang sudah lebih Jember: gerakannya lebih rampak dan rancak (cepat), musiknya patrol, dan kostumnya juga warna-warni.

Mungkin ada benarnya, jika ada yang mengatakan bahwa orang Jember masih malu mengakui Jember dengan pendalungannya sebagai budaya tersendiri. Tetapi tidak sepenuhnya benar juga. Toh hampir semua orang menggunakan bahasa yang jemberan, menikmati lagu Osing, berkomunikasi campur aduk Madura dan Jawa. Betapa asyiknya Jember. 

Tulisan ini juga mengajak kepada orang Jember untuk tidak malu menjadi Jember. Yang Jawa tidak perlu menyinisi yang Madura begitu pula sebaliknya. Tidak hanya untuk orang Jember, tetapi juga bagi seluruh warga bangsa Indonesia. Jangan pernah malu dengan budayamu dan keadaanmu sendiri! Itulah kekayaanmu!
LihatTutupKomentar